HUBUNGAN ANTARA SRATIFIKASI SOSIAL DAN HUKUM
Sratifikasi
sosial menurut Soetandyo adalah suatu proses terjadinya pelapisan-pelapisan
dalam kehidupan bermasyarakat yang menjadikan suatu struktur kehidupan yang
berlapis-lapis. Yang dimaksut berlapis-lapis adalah tersusun secara vertical,
maka ada kelas bawah, menengah dan atas. Stratifikasi terjadi di kehidupan
masyarakat dinegeri manapun, baik yang agraris maupun industrialis, yang
feodallis ataupun kapitalis.
Sumber terjadinya stratifikasi
soaial adalah karena tidak berimbangnya pembagian hak dan kewajiban serta
tanggung jawab sosial serta pengaruhnya terhadap sesama anggota masyarakat.
Disamping itu juga karena adanya sesuatu yang dihargai baik berupa barang jasa,
kehormatan, atau nila-nilai dalam masyarakat itu sendiri.
Beberapa kriteria yang lazim dibuat
dasar pengelompokkan masyarakat dalam strata-strata tertenru adalah:
1.
Ukuran kekayaan
Kekayaan dijadikan dasar pelapisan,
maka barang siapa memiliki kekayaan paling banyak, ia akan menempati kelas
teratas. Kekayaan yang dimaksut antara lain bisa dilihat dari keadaan rumah
yang dimiliki, merk mobil yang dipakai, luas tanah, kebiasaan belanja,
barang-barang elektronik, logam mulia, uang dn sejenisnya.
2.
Ukuran kekuasaan
Barang siapa memiliki kekuasaan
atau wewenang terbanyak maka ia akan menempati kelas tertinggi.
3.
Ukuran kehormatan
Kehormatan dapat terkait dengan
kekayaan dan kekuasaan, tetapi bisa juga lepas darinya. Orang yang paling
dihormati dan disegai dalam masyarakat, terutama masyarakat tradisional
biasanya adalah orang yang dianggap paling tua, paling berjasa atau paling
konsisten mematuhi norma, walaupun secara structural ia tidak mempunyai
kekuasaan dan miskin secara harta.
4.
Ukuran ilmu pengetahuan
Orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang
lebih tinggi akan menempati strata sosial tertinggi. Ini yang terjadi dalam
masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Secara
teoritis setiap negara demokrasi menjamin persamaan kedudukan setiap warga
negara dihadapan hukum dan kekuasaan, tetapi kenyataannya ditemukan fakta lain
bahwa “lain yang ditulis, lain dalam undang-undang” yaitu bahwa dihadapan hukum
tidaklah setiap orang mendapatkan perlakuan yang sama. Undang-Undang Dasar 1945
sebagai tata hukum tertinggi dengan jelas mencantumkan jaminan persamaan
kedudukan setiap warga didepan hukumdalam pasal 27(1):
Setiap warga
Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya
Berbeda dengan
apa yang tertera dalam bunyi asal tersebut, fakta-fakta didalam kehidupan nyata
masyarakat menunjukkan bahwa warga negara yang kebetulan menduduki kelas social
bawah akan mengalami tingkat kesulitan yang lebih berat disbanding mereka yang
merupakan warga kelas social menengah atau atas ketika dihadapkan pada
persoalan hukum.
Realitas
tersebut senada dengan pendapat Donald Black bahwa keberlakuan hukum dalam
konteks strata sosial tertentu. Black menilai bahwa penegak hukum sering
berlaku keras, tanpa tedeng aling-aling, tanpa belas kasih saat berhadapan
dengan orang-orang strata bawah. Namun akan sangat loyo, lemah, tak berdaya
ketika berhadapan dengan orang berpangkat, kaya dan berstatus sosial tinggi
KASUS I
Kasus
pencurian sandal jepit di Palu, Sulawesi Tengah yang dilakukan oleh AAL (15)
pelajar SMK 3 menyebabkan ia terjerat pasal 362 KUHP dengan ancaman maksimal
tuntutan 5 tahun penjara. Kejadian tersebut bermula saat AAL melintas bersama
kawannya didepan kos seorang anggota Brimob Polda Sulteng, Briptu ARH. Didepan
tempat kos itu, AAL melihat sandal jepit tergeletak, tanpa berpikir panjang, ia
kemudian mengambilnya. Briptu ARH mempersoalkan pencurian sandal jepit itu ke
pihak kepolisian. Enam bulan setelah peristiwa pencurian itu, polisi memanggil
AAL dan kawannya. Mereka diinterogasi, bahkan dipukuli dengan tangan dan benda
tumpul. AAL menderita lebam dipunggung, kaki, dan tangan, akibat kekerasan yang
ia terima saat diinterogasi itu, ia pun mengaku mencuri sandal.
Kasus tersebut
terus berulir, pengaduan Briptu ARH terus diproses secara hukum dan akhirnya
masuk ke Kejaksaan Negeri Palu, kemudian ke pengadilan. Jaksa menyatakan, AAL
melakukan tindak pidana pencurian dan diancam lima tahun. Pada awal Januari
2012 Pengadilan Negeri Palu akhirnya memutus bebas AAL. Meski diputus bebas ia
dinyatakan bersalah karena mencuri barang milik orang lain. Ia tidak dihukum,
tapi dikembalikan kepada orang tuanya.
Putusan ini
menuai protes. Hakim dinilai tak memutus perkara berdasarkan kebenaran
materiil. Fakta di persidangan, alat bukti yang diajukan berbeda dengan barang
yang diduga dicuri. AAL didakwa mencuri sandal jepit merk Eiger No. 43. Namun,
bukti yang diajukan adalah sandal jepit merk ANDO nomor 9,5.
Selama
persidangan pun, tak ada satu saksi yang melihat langsung apakah sandal merk
ANDO tersebut memang diambil AAL di depan kamar ARH. AAL sendiri membantah
melakukan pencurian, tapi menemukan sandal ANDO diluar pagar tempat kos ARH.
Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal ANDO tersebut lebih kecil di
kaki ARH yang besar.
KASUS II
Lagi-lagi majelis hakim Pengadilan
Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru membebaskan terdakwa korupsi. Hakimnya
masih “ASP”. Ia membebaskan “ZB” (47), mantan General Manager Pelindo I Cabang
Dumai. Menurut “ASP” dalam amar putusannya, “ZB” tidak terbukti melakukan
korupsi sebagaimana yang didakwa JPU, baik secara primair maupun dakwaan
subsidair.
“Membebaskan terrdakwa “ZB” dari
segala tuntutan JPU. Memerintahkan untuk membebaskan terdakwa dari rumah
tahanan. Memperbaiki nama baik terdakwa “ZB” dan mengembalikan seluruh barang
milik terdakwa yang sempat disita” tegas “ASP”, Selasa (5/1/2016)
Sementara itu terdakwa lainnya, “H”
yang merupakan kepala UGK PT Pelindo I Medan, juga mendapat keringanan. Menurut
majelis hakim, “H” tidak bersalah sebagaimana dalam dakwaan primer JPU. Hanya
saja “H” dinilai terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan telah melakukan
tindak pidana korupsi secara bersama-sama, sebagaimana yang tercantum dalam
pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dan ditambah
denngan UU NOmor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 (1) ke
1KUHP.
“Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa
‘H’ dengan pidana penjara selama 2 tahun. Terdakwa juga dibebankan membayar
denda Rp 50 juta atau subside 1 bulan penjara.”
Sebelumnya kedua terdakwa dituntut
pidana penjara selama 8 tahun oleh JPU. Kedua terdakwa juga dibebankan membayar
denda masing-masing sebesar Rp 200 juta atau subside 6 bulan penjara. Dalam
perkara ini kedua terdakwa juga dituntut
membayar uang pengganti sebesar Rp 583.264.000 atau subsidair 4 tahun
penjara. Sedangkan terdakwa “ZB” diwajibkan membayar uang pengganti kerugian
Negara sebesar Rp 800 juta atau subsidair 4 tahun penjara
Dari kedua kasus yang berbeda
tersebut terdapat perbedaan dimana pada kasus pertama pada seorang pelajar
biasa, ia diperlakukan tidak adil yakni dipukul hingga lebam dipunggung, kaki,
dan tangan saat diinterogasi, dan ia juga terancam vonis 5 tahun meski akhirnya
ia dikembalikan pada orang tuanya. Dan pada kasus korupsi oleh H” yang
merupakan kepala UGK PT Pelindo I Medan hanya dipenjara 2 tahun, bahkan “ZB”
terbebas dari tuntutan. Dua keadaan yang berlawanan diatas menunjukkan bahwa
stratifikasi sosial berdampak pada terjadinya diskriminasi pada layanan hukum. Penegak hukum sering
berlaku keras, tanpa tedeng aling-aling, tanpa belas kasih saat berhadapan
dengan orang-orang strata bawah. Namun akan sangat loyo, lemah, tak berdaya
ketika berhadapan dengan orang berpangkat, kaya dan berstatus sosial tinggi. Dan
dalam hal ini strata bawah akan dirugikan
DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah,
Zulfatun. 2012. Sosiologi Hukum; Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Teras
news.liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar