Pandangan Karl Mark Tentang Hukum
Oleh: Siti Mariyam
Karl Mark (1818-1883)
adalah seorang sosiolog, ia lahir di Jerman, tepatnya dibelahan kota Trier,
daerah Rhine pada tahyn 1818.[1]
Ayahnya bernama Henrich dan ibunya bernama Henrieta dari keluarga rabi Yahudi.
Karl Mark mendapatkan pendidikan sekuler, dan mencapai kehidupan borjuis yang
cukup mewah sebagai seorang pengacara yang cukup berhasil. Pada usia 18 tahun,
ia sudah mempelajari hukum selama satu tahun di Universitas Bonn, pindah ke
Universitas Berlin. Disana sebagai akibat pergaulan dengan kelompok Hegelian
muda, beberapa unsur dasar teori sosialnya mulai dibentuk. Akhirnya Mark
menggabungkan dirinya sebagai pengikut Hegel. Dari pandangan Hegel inilah Mark
melihat seluruh struktur sebagai lapisan-lapisan yang penuh dengan kontradiksi
dan merupakan proses yang terus berubah secara dialektis. Masyarakat selalu
dalam keadaan bergerak, sebab mengandung beberapa kekuatan unsur-unsur yang
saling bertentangan. Revolusi untuk memperoleh perjuangan tersebut untuk
dicapai melalui sintesis baru, yang tiada lain adalah pertentangan.
Sebagai ilmuwan yang hidup diawal
abad XIX, Karl Mark tidak terlepas dari iklim perubahan yang kala itu tengah
melanda peradaban Eropa Barat. Ia mengansumsikan selalu ada dinamika perubahan
dalam masysrakat. Dikatakan bahwa perubahan itu selalu perubahan transisional
yang tidak terelakkan sehubungan dengan adanya keniscayaan dialektika yang
kodrati dan terwujudkan dalam
sejarah dari suatu kehidupan model
tertentu ke suatu model kehidupan
tertentu yang lain. Sejalan dengan perubahan itu, hukum pun sebagai komponen sistem
kehidupan akan ikut pula berubah secara fungsional.
Hal yang dianggap sebagai pemicu
perubahan dalam seluruh tatanan masysrakat dan hukum adalah
kontradiksi-kontradiksi yang terakumulasi dalam hubungan-hubungan produksi,
yang terkait secara timbal balik dengan kesenjangn ditribusi dan konsumsi
produk-produknya. kesenjangan dalam hal kemampuan berproduksi dan berkonsumsi
telah mnyebabkan terjadinya kesenjangan milik
dan kesenjangan milik akan menyebabkan sebagian orrang akan menguasai
modal, sedangkan sebagian yang lain tak akan memiliki sisa apapun selain
tenaganya saja. Dalam hal ini Karl Mark membagi masyarakat menjadi dua yaitu
kelas borjuis dan kelas proletar. Yang dimaksut kelas borjuis adalah mempunyai
uang atau modal yang biasanya terdiri dari sdikit orang, sedangkan yang
dimaksut kelas proletar adalah mereka yang memiliki tenaga namun tidak
mempunyai modal. Yang menguasai harta milik dan atau modal akan selalu
memperoleh kesempatan yang lebih luas dan kemampuan yang lebih besar untuk
mengendalikan produksi daripada mereka yang tak menguasai apaun kecuali tenaga.
Pemilik-pemilik modal yang disebt kapitalis akan menjadi penguasa-penguasa pembuat
keputusan yang berposisi menentukan dalam setiap proses produksi dan juga dalam
penentuan konsumsi.[2]
Para kapitalis ini akan elalu
mendapatkan keuntungan dalam arti akan selalu memperoleh nilai lebih yang
tertambahkan kedalam nilai produk atas jasa faktor produksi yang disebut tenaga
(bukan modal). Maka para kapitalis ini selalu berupaya agar struktur produksi
dan distribusi seperti itu tetap dapat dipertahankan dan dilanggengkan.
Disinilah hukum akan dimanfaatkan oleh kapitalis sebagai instrument untuk
mewujudkan maksut-maksutnya serta untuk membenarkan esistensi lebaga pemilikan
modal dan juga mengamankannya.
Dengan demikian pandangan Karl Mark
tentang hukum (dan kekuasaan politik) adalah alat para kapitalis yang para
penguasa ekonomi untuk secara konservatif melanggengkan kegunaan harta kekayaan
sebagai sarana produksi sekaligus sebagai sarana eksploitasi. Hukum bukan
sekali-kali model idealisasi moral masyarakat atau setidak-tidaknya bahwa
masyarakat adalah manifestasi normative apa yang telah dihukumkan, sejalan
dengan cita-cita yang ideal. Hukum adalah pengemban amanat kapitalis yang tak
segan-segan melakukan eksploitasi-eksploitasi yang lugas. Dalam pandangan ini,
hukum tidak semat-mata berfungsi politik melainkan benar-benar berfungsi
ekonomi.
UNDANG UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN
2007
TENTANG
PENANAMAN
MODAL
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan pembangunan
ekonomi nasional yang berkelanjutan dengan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk
mencapai tujuan bernegara;
b. bahwa sesuai dengan amanat yang tercantum
dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998
tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, kebijakan penanaman modal
selayaknya selalu mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi
usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi;
c. bahwa untuk
mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan
ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi
ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik
dari dalam negeri maupun dari luar negeri;
d. bahwa dalam
menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam
berbagai kerjasama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang
kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan
tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentangPenanaman
Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970
tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri perlu diganti karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
percepatan perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional, khususnya
di bidang penanaman modal;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk
Undang-Undang tentang Penanaman Modal
.
Mengingat :
Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (5), Pasal 20, serta Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG
PENANAMAN MODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Penanaman modal adalah segala
bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun
penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
2.
Penanaman modal dalam negeri adalah
kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik
Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan
modal dalam negeri.
3. Penanaman modal asing adalah
kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik
Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal
asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
4. Penanam modal adalah perseorangan
atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal
dalam negeri dan penanam modal asing.
5.
Penanam modal dalam negeri adalah
perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, Negara Republik
Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara
Republik Indonesia.
6. Penanam modal asing adalah
perseorangan warga Negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang
melakukan penanaman modal di wilayah Negara Republik Indonesia.
7.
Modal adalah aset dalam bentuk uang
atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai
nilai ekonomis.
8.
Modal asing adalah modal yang
dimiliki oleh Negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing,
badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh
modalnya dimiliki oleh pihak asing.
9. Modal dalam negeri adalah modal
yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan warga Negara Indonesia,
atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.
10. Pelayanan terpadu satu pintu adalah
kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat
pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki
kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari
tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam
satu tempat.
11.
Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
12.
Pemerintah pusat, selanjutnya
disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13.
Pemerintah daerah adalah gubernur,
bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
Pasal 2
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi
penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia.
BAB II
ASAS DAN
TUJUAN
Pasal 3
(1)
Penanaman modal diselenggarakan
berdasarkan asas:
a.
kepastian hukum;
b.
keterbukaan;
c.
akuntabilitas;
d.
perlakuan yang sama dan tidak
membedakan asal negara;
e.
kebersamaan;
f.
efisiensi berkeadilan;
g.
berkelanjutan;
h.
berwawasan lingkungan;
i.
kemandirian; dan
j.
keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.
(2)
Tujuan penyelenggaraan penanaman
modal, antara lain untuk:
a.
meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional;
b.
menciptakan lapangan kerja;
c.
meningkatkan pembangunan ekonomi
berkelanjutan;
d.
meningkatkan kemampuan daya saing
dunia usaha nasional;
e.
meningkatkan kapasitas dan
kemampuan teknologi nasional
f.
mendorong pengembangan ekonomi
kerakyatan;
g.
mengolah ekonomi potensial menjadi
kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam
negeri maupun dari luar negeri; dan
h.
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
BAB III
KEBIJAKAN
DASAR PENANAMAN MODAL
Pasal 4
(1)
Pemerintah menetapkan kebijakan
dasar penanaman modal untuk:
a.
mendorong terciptanya iklim usaha
nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing
perekonomian nasional; dan
b.
mempercepat peningkatan penanaman
modal.
(2)
Dalam menetapkan kebijakan dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah:
a. memberi perlakuan yang sama bagi
penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional;
b. menjamin kepastian hukum, kepastian
berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan
perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. membuka kesempatan bagi
perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah,
dan koperasi.
(3)
Kebijakan dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan
dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.
BAB IV
BENTUK BADAN
USAHA DAN KEDUDUKAN
Pasal 5
(1)
Penanaman modal dalam negeri dapat
dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan
hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penanaman modal asing wajib dalam
bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam
wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
(3) Penanam modal dalam negeri dan
asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilakukan
dengan:
a.
mengambil bagian saham pada saat
pendirian perseroan terbatas;
b.
membeli saham; dan
c.
melakukan cara lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PERLAKUAN
TERHADAP PENANAMAN MODAL
Pasal 6
(1) Pemerintah memberikan perlakuan
yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang
melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Perlakuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak
istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.
Pasal 7
(1) Pemerintah tidak akan melakukan
tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal,
kecuali dengan undang-undang.
(2) Dalam hal Pemerintah melakukan
tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya
ditetapkan berdasarkan harga pasar.
(3) Jika di antara kedua belah pihak
tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.
Pasal 8
(1)
Penanam modal dapat mengalihkan
aset yang dimilikinyakepada pihak yang
diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
(2)
Aset yang tidak termasuk aset
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aset yang ditetapkan oleh undang-undang
sebagai aset yang dikuasai oleh negara.
(3)
Penanam modal diberi hak untuk
melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap:
a.
modal;
b.
keuntungan, bunga bank, deviden,
dan pendapatan lain;
c.
dana yang diperlukan untuk:
1. pembelian bahan baku dan penolong,
barang setengah jadi, atau barang jadi; atau
2. penggantian barang modal dalam
rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal;
d.
tambahan dana yang diperlukan bagi
pembiayaan penanaman modal;
e.
dana untuk pembayaran kembali
pinjaman;
f.
royalti atau biaya yang harus
dibayar;
g.
pendapatan dari perseorangan warga
negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal;
h.
hasil penjualan atau likuidasi
penanaman modal;
i.
kompensasi atas kerugian;
j.
kompensasi atas pengambilalihan;
k.
pembayaran yang dilakukan dalam
rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan
manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran
hak atas kekayaan intelektual; dan
l.
hasil penjualan aset sebagaimana
dimaksud pada ayat
(4)
Hak untuk melakukan transfer dan
repatriasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mengurangi:
a. kewenangan Pemerintah untuk
memberlakukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pelaporan
pelaksanaan transfer dana;
b. hak Pemerintah untuk mendapatkan
pajak dan/atau royalti dan/atau pendapatan Pemerintah lainnya dari penanaman
modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.
pelaksanaan hukum yang melindungi
hak kreditor; dan
d.
pelaksanaan hukum untuk menghindari
kerugian negara.
Pasal 9
(1)
Dalam hal adanya tanggung jawab
hukum yang belum diselesaikan oleh penanam modal:
a.
penyidik atau Menteri Keuangan
dapat meminta bank atau lembaga lain untuk menunda hak melakukan transfer
dan/atau repatriasi; dan
b. pengadilan berwenang menetapkan
penundaan hak untuk melakukan transfer dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan.
(2)
Bank atau lembaga lain melaksanakan
penetapan penundaan berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b hingga selesainya seluruh tanggung jawab penanam modal.
BAB VI
KETENAGAKERJAAN
Pasal 10
(1) Perusahaan penanaman modal dalam
memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara
Indonesia.
(2)
Perusahaan penanaman modal berhak
menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Perusahaan penanaman modal wajib
meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan
kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Perusahaan penanaman modal yang
mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan
melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
wajib diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah antara perusahaan
penanaman modal dan tenaga kerja.
(2) Jika penyelesaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai hasil, penyelesaiannya dilakukan melalui upaya
mekanisme tripartit.
(3) Jika penyelesaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai hasil, perusahaan penanaman modal dan tenaga
kerja menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan
hubungan industrial.
BAB VII
BIDANG USAHA
Pasal 12
(1)
Semua bidang usaha atau jenis usaha
terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha
yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
(2)
Bidang usaha yang tertutup bagi
penanam modal asing adalah:
a.
produksi senjata, mesiu, alat
peledak, dan peralatan perang; dan
b.
bidang usaha yang secara eksplisit
dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
(3)
Pemerintah berdasarkan Peraturan
Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik
asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan,
lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan
nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
(4) Kriteria dan persyaratan bidang
usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha
yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur
dengan Peraturan Presiden.
(5)
Pemerintah menetapkan bidang usaha
yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional,
yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan
kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan
badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.
BAB VIII
PENGEMBANGAN
PENANAMAN MODAL
BAGI USAHA
MIKRO, KECIL, MENENGAH,
DAN KOPERASI
Pasal 13
(1)
Pemerintah wajib menetapkan bidang
usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta
bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama
dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
(2) Pemerintah melakukan pembinaan dan
pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui program
kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan
pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya.
BAB IX
HAK,
KEWAJIBAN, DAN TANGGUNG JAWAB
PENANAM MODAL
Pasal 14
Setiap penanam modal berhak mendapat:
a.
kepastian hak, hukum, dan
perlindungan;
b.
informasi yang terbuka mengenai
bidang usaha yang dijalankannya;
c.
hak pelayanan; dan
d.
berbagai bentuk fasilitas kemudahan
sesuai dengan
e.
ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 15
Setiap penanam modal berkewajiban:
a.
menerapkan prinsip tata kelola
perusahaan yang baik;
b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c.
membuat laporan tentang kegiatan
penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
d.
menghormati tradisi budaya
masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan
e.
mematuhi semua ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pasal 16
Setiap penanam modal bertanggung jawab:
a.
menjamin tersedianya modal yang
berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menanggung dan menyelesaikan segala
kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau
menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c.
menciptakan iklim usaha persaingan
yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara;
d. menjaga kelestarian lingkungan
hidup;menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan
pekerja; dan
e.
mematuhi semua ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pasal 17
Penanam modal yang mengusahakan
sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara
bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan
hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB X
FASILITAS
PENANAMAN MODAL
Pasal 18
(1)
Pemerintah memberikan fasilitas
kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal.
(2)
Fasilitas penanaman modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman modal yang
:
a.
melakukan peluasan usaha; atau
b.
melakukan penanaman modal baru.
(3)
Penanaman modal yang mendapat
fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi
salah satu kriteria berikut ini:
a.
menyerap banyak tenaga kerja;
b.
termasuk skala prioritas tinggi;
c.
termasuk pembangunan infrastruktur;
d.
melakukan alih teknologi;
e.
melakukan industri pionir;
f.
berada di daerah terpencil, daerah
tertinggal, daerah perbatasan atau daerah lain yang dianggap perlu;
g.
menjaga kelestarian lingkungan
hidup;
h.
melaksanakan kegiatan penelitian,
pengembangan,dan inovasi;
i.
bermitra dengan usaha mikro, kecil,
menengah atau koperasi; atau
j. industri yang menggunakan barang
modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri.
(4)
Bentuk fasilitas yang diberikan kepada
penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat berupa:
a.
pajak penghasilan melalui
pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman
modal yang dilakukan dalam waktu tertentu;
b.
pembebasan atau keringanan bea
masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi
yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;
c.
pembebasan atau keringanan bea
masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka
waktu tertentu dan persyaratan tertentu;
d. pembebasan atau penangguhan Pajak
Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk
keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka
waktu tertentu;
e.
penyusutan atau amortisasi yang
dipercepat; dan
f.
keringanan Pajak Bumi dan Bangunan,
khususnya untuk bidang usaha tertentu,
pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
(5)
Pembebasan atau pengurangan pajak
penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada
penanaman modal baru yang merupakan industry pionir, yaitu industri yang
memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang
tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi
perekonomian nasional.
(6)
Bagi penanaman modal yang sedang berlangsung
yang melakukan penggantian mesin atau barang modal lainnya, dapat diberikan
fasilitas berupa keringanan atau pembebasan bea masuk.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan
ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 19
Fasilitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) diberikan berdasarkan kebijakan industri
nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 20
Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
tidak berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas.
Pasal 21
Selain fasilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan
kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh:
a.
hak atas tanah;
b.
fasilitas pelayanan keimigrasian;
dan
c.
fasilitas perizinan impor.
Pasal 22
(1)
Kemudahan pelayanan dan/atau
perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas
permohonan penanam modal, berupa:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan
dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat
diperbarui selama
35 (tiga puluh lima) tahun;
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan
dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat
diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan
c.
Hak Pakai dapat diberikan dengan
jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di
muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama
25(dua puluh lima) tahun.
(2)
Hak atas tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan
penanaman modal, dengan persyaratan antara lain:
a. penanaman modal yang dilakukan
dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekenomian
Indonesia yang lebih berdaya saing;
b. penanaman modal dengan tingkat
risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang
sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;
c.
penanaman modal yang tidak
memerlukan area yang luas;
d.
penanaman modal dengan menggunakan
hak atas tanah negara; dan
e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan
masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.
(3)
Hak atas tanah dapat diperbarui
setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan
baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.
(4)
Pemberian dan perpanjangan hak atas
tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh
Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan
kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan
maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Pasal 23
(1)
Kemudahan pelayanan dan/atau
perizinan atas fasilitas keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf
b dapat diberikan untuk:
a.
penanaman modal yang membutuhkan
tenaga kerja asing dalam merealisasikan penanaman modal;
b.
penanaman modal yang membutuhkan
tenaga kerja asing yang bersifat sementara dalam rangka perbaikan mesin, alat
bantu produksi lainnya, dan pelayanan purnajual; dan
c.
calon penanam modal yang akan
melakukan penjajakan penanaman modal.
(2)
Kemudahan pelayanan dan/atau
perizinan atas fasilitas keimigrasian yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan setelah penanam modal
mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(3)
Untuk penanam modal asing diberikan
fasilitas, yaitu:
a.
pemberian izin tinggal terbatas
bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun;
b.
pemberian alih status izin tinggal
terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah
tinggal di Indonesia selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
c. pemberian izin masuk kembali untuk
beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa
berlaku 1 (satu) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan;
d.
pemberian izin masuk kembali untuk
beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa
berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; dan
e. pemberian izin masuk kembali untuk
beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap diberikan untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin
tinggal tetap diberikan.
(4)
Pemberian izin tinggal terbatas
bagi penanam modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas dasar rekomendasi dari Badan
Koordinasi Penanaman Modal.
Pasal 24
Kemudahan pelayanan dan/atau
perizinan atas fasilitas perizinan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
huruf c dapat diberikan untuk impor:
a. barang yang selama tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
perdagangan barang;
b. barang yang tidak memberikan dampak
negatif terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, dan moral
bangsa;
c.
barang dalam rangka relokasi pabrik
dari luar negeri ke Indonesia; dan
d.
barang modal atau bahan baku untuk
kebutuhan produksi sendiri.
BAB XI
PENGESAHAN DAN
PERIZINAN PERUSAHAAN
Pasal 25
(1) Penanam modal yang melakukan
penanaman modal di Indonesia harus sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang
ini.
(2)
Pengesahan pendirian badan usaha
penanaman modal dalam negeri yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan
hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Pengesahan pendirian badan usaha
penanaman modal asing yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
(4)
Perusahaan penanaman modal yang
akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang.
(5)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu.
Pasal 26
(1)
Pelayanan terpadu satu pintu
bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan,
fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal.
(2)
Pelayanan terpadu satu pintu
dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal
yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi
yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan di tingkat pusat atau
lembaga atau instansi yang berwenangmmengeluarkan perizinan dan nonperizinan di
provinsi atau kabupaten/kota.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan
pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB XII
KOORDINASI DAN
PELAKSANAAN
KEBIJAKAN PENANAMAN
MODAL
Pasal 27
(1) Pemerintah mengoordinasi kebijakan
penanaman modal, baik koordinasi antarinstansi Pemerintah, antarinstansi Pemerintah
dengan Bank Indonesia, antarinstansi Pemerintah dengan pemerintah daerah,
maupun antar pemerintah daerah.
(2)
Koordinasi pelaksanaan kebijakan
penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan
Koordinasi Penanaman Modal.
(3)
Badan Koordinasi Penanaman Modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung
jawab langsung kepada Presiden.
(4)
Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
Pasal 28
(1) Dalam rangka koordinasi pelaksanaan
kebijakan dan pelayanan penanaman modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal
mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :
a.
melaksanakan tugas dan koordinasi
pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman modal;
b.
mengkaji dan mengusulkan kebijakan
pelayanan penanaman modal;
c. menetapkan norma, standar, dan
prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal;
d. mengembangkan peluang dan potensi
penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha;
e.
membuat peta penanaman modal
Indonesia;
f.
mempromosikan penanaman modal;
g.
mengembangkan sektor usaha
penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan
kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat,
dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan
penanaman modal;
h. membantu penyelesaian berbagai
hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam
menjalankan kegiatan penanaman modal;
i.
mengoordinasi penanam modal dalam
negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia;
dan
j.
mengkoordinasi dan melaksanakan
pelayanan terpadu satu pintu.
(2) Selain tugas koordinasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Badan Koordinasi Penanaman Modal bertugas
melaksanakan pelayanan penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 29
Dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya serta pelayanan terpadu satu pintu, Badan Koordinasi Penanaman Modal harus
melibatkan perwakilan secara langsung dari setiap sektor dan daerah terkait
dengan pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.
BAB XIII
PENYELENGGARAAN
URUSAN
PENANAMAN
MODAL
Pasal 30
(1)
Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman
modal.
(2) Pemerintah daerah menyelenggarakan
urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan Pemerintah.
(3)
Penyelenggaraan urusan pemerintahan
di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah
didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
pelaksanaan kegiatan penanaman modal.
(4)
Penyelenggaraan penanaman modal
yang ruang lingkupnya lintas provinsi menjadi urusan Pemerintah.
(5)
Penyelenggaraan penanaman modal
yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi.
(6)Penyelenggaraan penanaman modal
yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan
pemerintah kabupaten/kota.
(7) Dalam urusan pemerintahan di bidang
penanaman modal, yang menjadi kewenangan Pemerintah adalah :
a. penanaman modal terkait dengan
sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan
lingkungan yang tinggi;
b. penanaman modal pada bidang
industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
c.
penanaman modal yang terkait pada
fungsi pemersatu dan penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas
provinsi;
d.
penanaman modal yang terkait pada
pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;
e.
penanaman modal asing dan penanam
modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain,
yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah Negara lain;
dan
f.
bidang penanaman modal lain yang
menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang.
(8) Dalam urusan pemerintahan di bidang
penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (7), Pemerintah menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya kepada gubernur
selaku wakil Pemerintah, atau menugasi pemerintah kabupaten/kota.
(9)
Ketentuan mengenai pembagian urusan
pemerintahan di bidang penanaman modal diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB XIV
KAWASAN
EKONOMI KHUSUS
Pasal 31
(1)
Untuk mempercepat pengembangan
ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi
nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah, dapat ditetapkan
dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus.
(2)
Pemerintah berwenang menetapkan
kebijakan penanaman modal tersendiri di kawasan ekonomi khusus.
(3)
Ketentuan mengenai kawasan ekonomi
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.
BAB XV
PENYELESAIAN
SENGKETA
Pasal 32
(1)
Dalam hal terjadi sengketa di
bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih
dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
(2)
Dalam hal penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut
dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau
pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam hal terjadi sengketa di
bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para
pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan
kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati,
penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.
(4)
Dalam hal terjadi sengketa di
bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak
akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus
disepakati oleh para pihak.
BAB XVI
SANKSI
Pasal 33
(1)
Penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran
terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan
saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.
(2)
Dalam hal penanam modal dalam
negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu
dinyatakan batal demi hukum.
(3)
Dalam hal penanam modal yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan
Pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan,
penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk
memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau
pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau
kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan.
Pasal 34
(1) Badan usaha atau usaha perseorangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
pembatasan kegiatan usaha;
c.
pembekuan kegiatan usaha dan/atau
fasilitas penanaman modal; atau
d.
pencabutan kegiatan usaha dan/atau
fasilitas penanaman modal.
(2) Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Selain dikenai sanksi
administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XVII
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 35
Perjanjian internasional, baik
bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang
telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku,
tetap berlaku sampai dengan berakhirnya
perjanjian tersebut.
Pasal 36
Rancangan perjanjian internasional,
baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal
yang belum disetujui oleh Pemerintah Indonesia pada saat Undang-Undang ini
berlaku wajib disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 37
(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua
ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentangPenanaman Modal Asing dan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan
peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
(2)
Persetujuan penanaman modal dan
izin pelaksanaan yang telah diberikan oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentangPerubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1968 tentang Penanamana Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya persetujuan penanaman modal
dan izin pelaksanaan tersebut.
(3) Permohonan penanaman modal dan
permohonan lainnya yang berkaitan dengan penanaman modal yang telah disampaikan
kepada instansi yang berwenang dan pada tanggal disahkannya Undang-Undang ini
belum memperoleh persetujuan Pemerintah wajib disesuaikan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.
(4)
Perusahaan penanaman modal yang
telah diberi izin usaha oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dan, apabila izin usaha
tetapnya telah berakhir, dapat diperpanjang berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XVIII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 38
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2818) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2943); dan
b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2853) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
(Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2944), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 39
Semua Ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan penanaman modal wajib mendasarkan
dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini.
Pasal 40
Undang-Undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada tanggal 26 April 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2007 NOMOR 67
ANALISIS
Terkait dengan
teori Karl Mark, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,
terdapat beberapa pasal yang merugikan pihak proletar yakni:
1. Perlakuan yang sama kepada semua penanam modal baik dalam negeri maupun penanam modal asing.
Hal ini merupakan suatu hak bagi keduanya, namun diperlukan adanya batasan-batasan tertentu sebagai bentuk upaya perlindungan terhadap penanam modal dalam negeri. Dilihat dari segi capital, penanam modal asing cenderung memiliki modal yang besar dibanding dengan penanam modal dalam negeri. Maka untuk menghindari penurunan atau bahkan kebangkrutan investor dalam negeri, pemilihan terhadap penawaran investasi perlu diperhatikan dengan serius dan tetap mengedepankan perkembangan investor dalam negeri.
2. Perpanjangan hak atas tanah dengan jangka waktu yang lama
Hak guna usaha diberikan dalam jumlah 95 tahun dan dapat diperpanjang dimuka sekaligus selama 60 tahun, dan dapat diperbaharui selama 35 tahun. Hak guna bangunan diberikan dalam jumlah 80 tahun, dapat diperpanjang 50 tahun dan dapat diperbaharui 30 tahun. Jangka waktu yang terlampau lama dikhawatirkan akan merugikan Indonesia hal ini karena kaum borjuis (penanam modal) dapat mencari keuntungan dengan cara mengeksploitasi sumberdaya yang ada secara berlebihan.
Selain itu perpanjangan hak atas tanah tersebut juga bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, diantaranya yakni dalam pasal 29 yang menyatakan bahwa hak guna usaha paling lama 25 tahun (35 tahun untuk perusahaan) dan dapat diperpanjang maksimal 25 tahun (total maksimal 60 tahun); pasal pasal 35 yang menyatakan hak guna bangunan paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 20 tahun (total 50 tahun)
3. Penentuan bidang usaha terbuka ditentukan oleh persiden
Penentuan bidang usaha terbuka yang ditentukan oleh presiden mungkin dimaksutkan karena presiden adalah kepala negara. Namun dikhawatirkan hal ini akan menimbulkan kesepakatan-kesepakatan diantara mereka yang hanya dapat menguntungkan kaum borjuis (penanam modal)
1. Perlakuan yang sama kepada semua penanam modal baik dalam negeri maupun penanam modal asing.
Hal ini merupakan suatu hak bagi keduanya, namun diperlukan adanya batasan-batasan tertentu sebagai bentuk upaya perlindungan terhadap penanam modal dalam negeri. Dilihat dari segi capital, penanam modal asing cenderung memiliki modal yang besar dibanding dengan penanam modal dalam negeri. Maka untuk menghindari penurunan atau bahkan kebangkrutan investor dalam negeri, pemilihan terhadap penawaran investasi perlu diperhatikan dengan serius dan tetap mengedepankan perkembangan investor dalam negeri.
2. Perpanjangan hak atas tanah dengan jangka waktu yang lama
Hak guna usaha diberikan dalam jumlah 95 tahun dan dapat diperpanjang dimuka sekaligus selama 60 tahun, dan dapat diperbaharui selama 35 tahun. Hak guna bangunan diberikan dalam jumlah 80 tahun, dapat diperpanjang 50 tahun dan dapat diperbaharui 30 tahun. Jangka waktu yang terlampau lama dikhawatirkan akan merugikan Indonesia hal ini karena kaum borjuis (penanam modal) dapat mencari keuntungan dengan cara mengeksploitasi sumberdaya yang ada secara berlebihan.
Selain itu perpanjangan hak atas tanah tersebut juga bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, diantaranya yakni dalam pasal 29 yang menyatakan bahwa hak guna usaha paling lama 25 tahun (35 tahun untuk perusahaan) dan dapat diperpanjang maksimal 25 tahun (total maksimal 60 tahun); pasal pasal 35 yang menyatakan hak guna bangunan paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 20 tahun (total 50 tahun)
3. Penentuan bidang usaha terbuka ditentukan oleh persiden
Penentuan bidang usaha terbuka yang ditentukan oleh presiden mungkin dimaksutkan karena presiden adalah kepala negara. Namun dikhawatirkan hal ini akan menimbulkan kesepakatan-kesepakatan diantara mereka yang hanya dapat menguntungkan kaum borjuis (penanam modal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar