NAMA :
SITI MARIYAM
JURUSAN :
ZAKAT WAKAF/ IV
NIM :
1713143022
Roscoe Pound adalah sosiolog yang lahir di
Amerika Serikat pada tahun 1887 dan meninggal pada tahun 1964. Menurut pendapatnya
hukum adalah suatu prose, maka ia membedakan law in action dengan law in
book. Law in action adalah hukum sebagaimana yang tersurat dalam berbagai
sumber hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan hakim dan
lain sebagainya. Adapun law in action adalah hukum yang dipraktikkan oleh
masyarakat. Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik
hukum subtantif maupun hukum ajektif.[1]
Ucapan
Roscoe Pound yang paling terkenal dibidang sosiologi hukum adalah bahwa hukum adalah alat untuk merekayasa social
(law as a tool of social engeenering).[2]
Yang dimaksut dengan hukum sebagai alat merekayasa masyarakat adalah bahwa
hukum dapat digunakan untuk merancang masyarakat seperti apa yang diinginkan
dalam masa yang akan dating. Fungsi hukum dalam hal ini adalah mengatur dan
menggerakkan perubahan masyarakat, maka analogi Pound mengemukakan “hak” yang
bagaimanakah yang seharusnya diatur oleh hukum, dan “hak-hak” apakah yang
dituntut oleh individu dalam
bermasyarakat. Yang dimaksut hak adalah kepentingan atau tuntutan-tuntutan yang diakui, diharuskn dan dibolehkan
sehingga tercapai suatu keseimbangan dan terwujud apa yang dinamakan ketertiban
umum. Bagi Poun hukum diselenggarakan dengan tujuan untuk memaksimalkan
pemuasan kebutuhan dan kepentingan umum. Hakikatnya hukum diperlukan karena
dalam kehidupan ini banyak terdapat kepentingan
yang minta dilindungi. Berikut adalah contoh hukum adalah alat
merekayasa social.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2009
TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan
dan integrasi nasional sebagai
bagian dari upaya
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa Lalu
Lintas dan Angkutan
Jalan sebagai bagian
dari sistem transportasi
nasional harus dikembangkan potensi
dan perannya untuk
mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu
lintas dan Angkutan Jalan dalam
rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah;
c. bahwa
perkembangan lingkungan strategis
nasional dan internasional menuntut
penyelenggaraan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan yang
sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi,
otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara;
d. bahwa
Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan
Jalan sudah tidak
sesuai lagi dengan kondisi,
perubahan lingkungan strategis,
dan kebutuhan penyelenggaraan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan saat
ini sehingga perlu
diganti dengan undangundang yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b,
huruf c, dan
huruf d perlu membentuk Undang-Undang
tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan;
Mengingat :
Pasal 5 ayat
(1) serta Pasal
20 ayat (1)
dan ayat (2)
UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG LALU LINTAS
DAN ANGKUTAN
JALAN
Bagian Kedua
Ruang Lalu Lintas
Paragraf 1
Kelas Jalan
Pasal 19
(1) Jalan dikelompokkan
dalam beberapa kelas berdasarkan:
a. fungsi
dan intensitas Lalu
Lintas guna kepentingan pengaturan
penggunaan Jalan dan
Kelancaran Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan; dan
b. daya dukung
untuk menerima muatan
sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
(2) Pengelompokan
Jalan menurut kelas
Jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. jalan
kelas I, yaitu
jalan arteri dan
kolektor yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan
ukuran lebar tidak melebihi
2.500 (dua ribu
lima ratus) milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi
18.000 (delapan belas ribu)
milimeter, ukuran paling
tinggi 4.200 (empat ribu
dua ratus) milimeter,
dan muatan sumbu terberat 10
(sepuluh) ton;
b. jalan
kelas II, yaitu
jalan arteri, kolektor,
lokal, dan lingkungan yang
dapat dilalui Kendaraan
Bermotor dengan ukuran lebar
tidak melebihi 2.500
(dua ribu lima ratus)
milimeter, ukuran panjang
tidak melebihi 12.000 (dua
belas ribu) milimeter,
ukuran paling tinggi 4.200
(empat ribu dua
ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c. jalan
kelas III, yaitu
jalan arteri, kolektor,
lokal, dan lingkungan yang
dapat dilalui Kendaraan
Bermotor dengan ukuran lebar
tidak melebihi 2.100
(dua ribu seratus) milimeter,
ukuran panjang tidak
melebihi 9.000 (sembilan
ribu) milimeter, ukuran
paling tinggi 3.500 (tiga
ribu lima ratus)
milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
d. jalan kelas
khusus, yaitu jalan
arteri yang dapat dilalui
Kendaraan Bermotor dengan
ukuran lebar melebihi 2.500
(dua ribu lima
ratus) milimeter, ukuran panjang
melebihi 18.000 (delapan
belas ribu) milimeter, ukuran
paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus)
milimeter, dan muatan
sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.
(3) Dalam
keadaan tertentu daya
dukung jalan kelas
III sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf
c dapat ditetapkan muatan
sumbu terberat kurang
dari 8 (delapan) ton.
(4) Kelas
jalan berdasarkan spesifikasi
penyediaan prasarana jalan
diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)
huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal
20
(1) Penetapan
kelas jalan pada
setiap ruas jalan
dilakukan oleh:
a. Pemerintah, untuk jalan
nasional;
b. pemerintah provinsi,
untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten,
untuk jalan kabupaten; atau
d. pemerintah kota, untuk
jalan kota.
(2) Kelas
jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(3) Ketentuan lebih
lanjut mengenai pengelompokan
kelas jalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19
dan tata cara penetapan
kelas jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Paragraf
2
Penggunaan
dan Perlengkapan Jalan
Pasal
21
(1) Setiap
Jalan memiliki batas
kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.
(2) Batas
kecepatan paling tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan
perkotaan, jalan antarkota,
dan jalan bebas hambatan.
(3) Atas
pertimbangan keselamatan atau
pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah
Daerah dapat menetapkan batas kecepatan
paling tinggi setempat
yang harus dinyatakan dengan
Rambu Lalu Lintas.
(4) Batas
kecepatan paling rendah
pada jalan bebas hambatan ditetapkan
dengan batas absolut
60 (enam puluh) kilometer per jam
dalam kondisi arus bebas.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
batas kecepatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
dan ayat (2)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal
22
(1) Jalan
yang dioperasikan harus
memenuhi persyaratan laik fungsi
Jalan secara teknis dan administratif.
(2) Penyelenggara
Jalan wajib melaksanakan
uji kelaikan fungsi Jalan sebelum
pengoperasian Jalan.
(3) Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji
kelaikan fungsi Jalan pada Jalan
yang sudah beroperasi
secara berkala dalam jangka
waktu paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.
(4) Uji
kelaikan fungsi Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat
(3) dilakukan oleh
tim uji laik
fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.
(5) Tim
uji laik fungsi Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) terdiri atas
unsur penyelenggara Jalan,
instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(6) Hasil
uji kelaikan fungsi
Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh
penyelenggara Jalan, instansi
yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, dan/atau
Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(7) Uji
kelaikan fungsi Jalan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
23
(1) Penyelenggara
Jalan dalam melaksanakan
preservasi Jalan dan/atau peningkatan
kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan,
Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
(2) Penyelenggara
Jalan dalam melaksanakan
kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) berkoordinasi dengan instansi
yang bertanggung jawab
di bidang sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pasal
24
(1) Penyelenggara
Jalan wajib segera
dan patut untuk memperbaiki Jalan
yang rusak yang
dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.
(2) Dalam
hal belum dapat
dilakukan perbaikan Jalan
yang rusak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), penyelenggara Jalan
wajib memberi tanda
atau rambu pada Jalan
yang rusak untuk
mencegah terjadinya Kecelakaan
Lalu Lintas.
Pasal
25
(1) Setiap
Jalan yang digunakan
untuk Lalu Lintas
umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
a. Rambu Lalu Lintas;
b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. alat penerangan Jalan;
e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan
penyandang cacat; dan
h. fasilitas
pendukung kegiatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan
yang berada di
Jalan dan di
luar badan Jalan.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
perlengkapan Jalan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur
dengan peraturan pemerintah.
Pasal
26
(1) Penyediaan
perlengkapan Jalan sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 25
ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c. pemerintah
kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalandesa; atau
d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
(2) Penyediaan
perlengkapan Jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
27
(1) Perlengkapan
Jalan pada jalan
lingkungan tertentu
disesuaikan dengan kapasitas,
intensitas, dan volume Lalu Lintas.
(2) Ketentuan
mengenai pemasangan perlengkapan
Jalan pada jalan lingkungan
tertentu diatur dengan
peraturan daerah.
Pasal
28
(1) Setiap
orang dilarang melakukan
perbuatan yang mengakibatkan kerusakan
dan/atau gangguan fungsi Jalan.
(2) Setiap
orang dilarang melakukan
perbuatan yang mengakibatkan gangguan
pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1).
Analisis rekayasa sosial
Pasal 19 : Mengelompokkan jalan dalam beberapa kelas berdasarkan fungsi
dan intensitas lalu lintas serta daya
dukung, rekayasa sosial ini bertujuan agar
penggunaan jalan dapat teratur sehingga tercipta kelancaran lalu lintas,
daya dukung untuk menerima muatan bertujuan agar tidak merusak jalan, juga agar
tercipta kenyamanan dan kelancaran dalam berlalu lintas. Dengan melebihi
kapasitas muatan yang telah ditentukan pada jalan-jalan yang sempit akan
mengakibatkan kerusakan pada jalan, misalnya truk dengan muatan 10 ton dan
tinggi 4200 milimeter jika melaju di jalan kelas III maka dapat mengakibatkan
kerusakaan pada jalan, selain itu jika jalan sempit dan kendaraan terlalu
panjang serta membawa muatan berat akan mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Kendaraan dari arah
yang berlawanan akan terhambat lajunya selain itu kendaraan berat tersebut akan
kesulitan untuk melaju.
Pasal 20 : Pembagian tugas dalam penetapan kelas
jalan, rekayasa sosial ini bertujuan agar tercipta kelancaran lalu lintas.
Dengan adanya pembagiaan tugas ini maka jalan akan semakin diperhatikan
sampai pada tingkat kota.
Pasal 21 : Penetapan Batas kecepatan bertujuan agar
tercipta keselamatan pengguna jalan dan mengurangi angka kecelakaan lalu
lintas. Batas kecepatan yang ditentukan berdasarkan kawasan pemukiman,
perkotaan, jalan antar kota dan jalan bebas hambatan. yang dinyatakan dalam
rambu lalu lintas akan menjadi pengingat bagi pengguna jalan agar memperhatikan
keselamatan mereka.
Pasal 22 : Penetapan persyaratan kelayakan jalan sebelum beroperasi sera uji kelayakan
secara berkala oleh instansi yang bertanggung jawab dalam bidangnya bertujuan
agar tercipta kenyaman dan keselamatan dalam berlalu lintas. Jika jalan tidak
memenuhi persyaratan baik teknisa maupun adminstratif, maka hal ini dapat
membahayakan pengguna jalan. Selain itu jalan yang juga harus diuji secara
berkala, jika hal ini tidak dilakukan maka perawatan jalan tidak akan maksimal,
jalan-jalan yang sudah rusak tidak akan ada perawatan. Hal ini akan menyebabkan
kenyaman serta keamanan dalam berkendara terancam.
Pasal 23 : Koordinasi antar instansi dalam penyelenggaraan peningkatan kapasitas jalan. Ini
bertujuan agar sinkron dalam melaksanakan tugas peningkatan kapasitas jalan
sehingga tercipta ketertiban, keamanan, serta kelancaran lau lintas.
Pasal 24 : Pemberian tanda
pada jalan yang rusak serta perbaikan jalan dengan segera. Hal ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Karena dengan perbaikan yang
sesegera mungkin serta pemberian tanda akan membuat pengguna jalan menjadi
terjamin keselamatannya.
Pasal 25 : Mewajibkan untuk
menggunakan perlengkapan jalan. Rekayasa social ini bertujuan agar tecipta
keamana, ketertiban, dan keselamatan pengguna jalan. Dengan adanya rambu lalu
lintas maka kelancaran akan tercipta, alat penerang jalan juga sangat membantu
pengguna jalan, dengan adanya penerangan jalan maka diharapkan angka kecelakaan
akan berkurang.
Pasal 26 : Pembagian tugas
dalam penyediaan perlengkapan jalan. Ini bertujuan agar jalan-jalan menjadi
terfokus untuk diperhatiakan sampai kepelosok desa. Bila tugas ini hannya
dilakukan oleh pemerintah pusat maka tidak akan maksimal karena ada banyak
sekali jalan yang harus diperhatikan di Indonesia.
Pasal 27 : Penyesuaian
perlengkapan jalan pada jalan lingkungan tertentu. Selain untuk kelancaran
dalam berlalu lintas, ini juga untuk efisiensi dalam penggunaan perlengkapan
jalan. Karena volume lalu lintas yang besar dan kecil akan sangat berbeda
kebutuhan akan perlengkapan jalannya.
Pasal 28 : Larangan untuk
merusak jalan. Rekaya ini bertujuan agar jalan-jalan dapat berfungsi dengan
baik, dengan ini maka akan tercipta keamanan, serta kelancaran dalam berlalu
lintas.
KESIMPULAN
KESIMPULAN
UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan merekayasa masyarakat khususnya pengguna jalan agar berhati-hati dan berkonsentrasi penuh dalam berkendara agar terciptanya ketertiban, keamanaan,
kelancaran, dan keselamatan dalam berlalu lintas.
Nilai 70. Seharusnya Anda membuat kesimpulan umum.
BalasHapus