Rabu, 02 Maret 2016

Solidaritas dan Hukum



NAMA            : SITI MARIYAM
KELAS           : ZAWA IV
NIM                : 1713143022

Menurut Emile Durkheim (seorang ilmuwan sosiolog dari Perancis), hukum adalah cerminan dari solidaritas masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia solidaritas mempunyai arti sifat satu rasa (senasib); perasaan setia kawan. Menurutnya, solidaritas dapat dibedakan menjadi dua macam yakni solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis dapat ditemukan ekspresinya dalam pelanggaran kaidah hukum yang bersifat represif. Solidaritas ini menanggulangi ancaman-ancaman dan pelanggaran-pelanggaran terhadap apa yang disebut kesadaran nurani kolektif.[1] Solidaritas ini dapat dijumpai pada masyarakat yang relatif sederhana dan homogen. Hal ini disebabkan karena keutuhan masyarakat tersebut dijamin oleh hubungan antar manusia yang erat, serta adanya tujuan bersama. Dan solidaritas yang kedua dinamakan sebagai solidaritas organis. Solidaritas jenis ini terdapat pada masyarakat yang lebih modern dan lebih kompleks, yakni masyarakat yang ditandai oleh pembagian kerja yang kompleks.[2]
Tipe Solidaritas Menurut Durkheim[3]
No
Mekanis
Organis
1
Pembagian kerja rendah (homogen)
Pembagian kerja tinggi (heterogen)
2
Kesadaran kolektif kuat
Kesadaran kolektif lemah
3
Hukum represif sangat dominan
Hukum restif dominan
4
Individualitas rendah
Individualitas tinggi
5
Konsensus terhadap pola normative
Konsensus terhadap nilai abstrak
6
Komunitas terlibat dalam seorang yang melakukan penyimpangan
Badan-badan control social yang melakukan penghukuman
7
Saling ketergantungan tinggi
Saling ketergantungan rendah
8
Bersifat primitif dan pedesaan
Bersifat industri dan perkotaan


Kasus 1
Juni 2013, pagi sekitar pukul 06.00 seorang warga Desa Tapan Rt. 2 Rw. 2, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung sebut saja Cukrik, tengah menjual dua ekor ayam masing-masing ayam betina dan ayam jantan muda kepada seorang warga satu desa juga yang berprofesi sebagai penjual ayam yakni Pak “IS”. Ayam itu lantas dibeli oleh Pak “IS” seharga Rp 30.000,00 untuk ayam betina dan Rp 40.000,00 untuk ayam jantan. Disaat itu ayam betina dilepas dirumah Pak “IS” sedangkan ayam jantan dibawa untuk dijual kembali di pasar. Tidak diketahui sebelumnya oleh Pak “IS” bahwa ayam yang dijual Cukrik kepadanya adalah ayam hasil curian.
Keesokan harinya seorang pemuda berinisial “Y” membeli pakan ayam didepan rumah Pak “IS”, dan dia melihat ayam betina yang baru saja dibeli oleh Pak “IS”. Ternyata dia hafal bahwa ayam tersebut adalah ayam bapaknya, Pak “S” yang hilang. Atas apa yang ia lihat, lantas ia melapor kepada bapaknya yang juga masih satu desa dengan Cukrik maupun Pak “IS”.
Dua hari kemudian, datanglah Pak “S” beserta Bu Kasun, Pak RT, dan Pak RW kerumah Pak “IS” untuk melihat-lihat ayam. Setelah ayam yang dicari ketemu, mereka lantas mengatakan kepada Pak “IS” bahwa ayam tersebut adalah ayam Pak “S” yang hilang. Pak “S” beserta pamong desa akhirnya membawa ayam tersebut untuk dijadikan sebagai bukti. Setelah itu mereka menggerebek Cukrik dirumahnya untuk dibawa kekantor kelurahan dan sebelum akhirnya ia dibawa ke kepolisian.

Analisis Kasus 1
Dari uraian kasus tersebut diatas jika dihubungkan dengan teori solidaritas yang dikemukakan Emile Durkheim, kasus tersebut dapat digolongkan kedalam solidaritas organis. Dimana hukum restitutif dominan, ini terlihat dari cara korban yang melaporkan pencurian kepada pihak yang berwenang tanpa adanya tindakan kekerasan atau aksi pukul sebelumnya. Penghukuman juga langsung dilakukan oleh badan-badan yang berwenang. 

Kasus 2
            Pada tahun 2006, Siang pukul 14.00 di Perumahan Bumi Mas Blok E-21 Tunggulsari, Tulungagung, terjadi pencurian kabel di rumah kosong oleh dua orang pengamen yang diketahui bahwa mereka adalah warga Tamanan dan Kedungwaru. Kejadian bermula saat hujan sedang turun, dua pengamen tersebut yakni si Bodong dan si Gepeng (nama samaran) memasuki rumah kosong milik Pak “M” yang berada di Perumahan Bumi Mas Blok E-21 melalui pintu belakang. Rumah tersebut bukan sengaja dikosongkan, namun hanya disinggahi sebulan sekali oleh sang pemilik yang diketahui berasal dari Trenggalek dan pada saat itu menjadi pegawai pajak.
            Karena mereka didalam cukup lama, salah seorang warga mencurigainya. Pak “S” mengintai kegiatan mereka didalam rumah itu, sebelum akhirnya dia menyuruh anaknya untuk mengawasi mereka agar tidak kabur dan Pak “S” menggerakkan warga agar mereka diamankan dan masalah ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Pada saat Pak “S” dan warga sudah berkumpul didepan rumah kosong, Pak “S” meminta mereka agar membuka pintunya, namun mereka tak membukanya. Akhirnya Pak “S” membuka pintu lewat belakang rumah tersebut. Mereka ditangkap oleh warga dan dibawa ke rumah ketua RW, namun saat itu ketua RW tidak ada dirumah. Tepat disamping rumah ketua RW ada rumah polisi yang berinisial “DP” mendengar hal tersebut akhirnya “DP” membawa mereka kembali ke tempat kejadian perkara (TKP) dan menanyakan beberapa pertanyaan. “Masuk lewat mana? Tujuannya untuk apa? Apa saja barang yang diambil?” Tanya polisi tersebut kepada mereka. Dan mereka menjawab bahwa mereka bermaksut untuk berteduh.
            Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pak “DP” diketahuilah bahwa mereka mencuri kabel dirumah itu, dan kabel yang didapat cukup banyak, namun perkakas yang ada dirumah tersebut tidak ikut dicuri olehnya. Dan akhirnya mereka dibawa keluar dari rumah kosong tersebut, sesampainya diluar rumah barulah warga menghajar mereka dan disaat itu Pak “DS” yang merupakan anggota Reskrim yang juga bertempat tinggal di perumahan tersebut tengah pulang dan melihat banyak warga sedang berkumpul, diketauinya bahwa ada pencuri Pak “DS” menangkap dan juga memukuli pencuri tersebut, dari warga tersebut ada juga yang membawa kayu hingga keduanya babak belur sebelum akhirnya pencuri tersebut diintrogasi oleh Polsek kedungwaru. Diketahui bahwa salah satu dari mereka bisa dikatakan anaknya orang mampu, bukan pengamen miskin seperti pada umunya. Hal ini terlihat dari salah satunya yang membawa motor Ninja.

Analisa Kasus 2
Dari uraian kasus tersebut diatas jika dihubungkan dengan teori solidaritas yang dikemukakan Emile Durkheim, kasus tersebut dapat digolongkan kedalam solidaritas mekanis. Hal ini terlihat dari hukum represif yang sangat dominan yakni ketika warga langsung memberikan hukuman pukulan kepada si pencuri. Komunitas terlibat dalam seorang yang melakukan penyimpangan yakni saat warga sendiri yang menghukum pencuri sebelum akhirnya ditangani oleh Polsek Kedungwaru. Individualitas rendah tercermin dari sikap mereka yang gotong royong berusaha menangkap pencuri. Tetapi disisi lain kasus ini juga memiliki ciri-ciri dari organis, dimana masyarakat di daerah Perumahan Bumi Mas merupakan masyarakat yang heterogen, terdapat pembagian kerja yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari profesi korban yakni Pak “M” yaitu sebagai pegawai pajak, Pak “DP” yang juga warga perumahan berprofesi sebagai polisi, dan Pak “DS” merupakan anggota reskrim. Dalam konteks masyarakat seperti tersebut diatas, menurut saya pendapat Emile Durkheim kurang relevan.


[1] Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum; Sebuah Pengantar, ( Yogyakarta: Teras, 2012), h. 37
[2] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 50
[3] Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum; Sebuah Pengantar, h. 38

1 komentar: