Jumat, 11 Maret 2016

Pandangan Sosiolog "Roscoe Pound" tentang Hukum



NAMA            : SITI MARIYAM    
JURUSAN      : ZAKAT WAKAF/ IV
NIM                : 1713143022

Roscoe Pound adalah sosiolog yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 1887 dan meninggal pada tahun 1964. Menurut pendapatnya hukum adalah suatu prose, maka ia membedakan law in action dengan law in book. Law in action adalah hukum sebagaimana yang tersurat dalam berbagai sumber hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan hakim dan lain sebagainya. Adapun law in action adalah hukum yang dipraktikkan oleh masyarakat. Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum subtantif maupun hukum ajektif.[1]
            Ucapan Roscoe Pound yang paling terkenal dibidang sosiologi hukum adalah  bahwa hukum adalah alat untuk merekayasa social (law as a tool of social engeenering).[2] Yang dimaksut dengan hukum sebagai alat merekayasa masyarakat adalah bahwa hukum dapat digunakan untuk merancang masyarakat seperti apa yang diinginkan dalam masa yang akan dating. Fungsi hukum dalam hal ini adalah mengatur dan menggerakkan perubahan masyarakat, maka analogi Pound mengemukakan “hak” yang bagaimanakah yang seharusnya diatur oleh hukum, dan “hak-hak” apakah yang dituntut oleh individu  dalam bermasyarakat. Yang dimaksut hak adalah kepentingan atau tuntutan-tuntutan  yang diakui, diharuskn dan dibolehkan sehingga tercapai suatu keseimbangan dan terwujud apa yang dinamakan ketertiban umum. Bagi Poun hukum diselenggarakan dengan tujuan untuk memaksimalkan pemuasan kebutuhan dan kepentingan umum. Hakikatnya hukum diperlukan karena dalam kehidupan ini banyak terdapat kepentingan  yang minta dilindungi. Berikut adalah contoh hukum adalah alat merekayasa social.



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2009
TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang  : a.  bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis  dalam mendukung  pembangunan  dan  integrasi nasional  sebagai  bagian  dari  upaya  memajukan kesejahteraan  umum  sebagaimana  diamanatkan  oleh  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 1945;
b. bahwa  Lalu  Lintas  dan  Angkutan  Jalan  sebagai  bagian  dari  sistem  transportasi  nasional  harus  dikembangkan  potensi  dan  perannya  untuk  mewujudkan  keamanan,  keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan  Jalan  dalam  rangka  mendukung  pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah;
c.  bahwa  perkembangan  lingkungan  strategis  nasional  dan internasional  menuntut  penyelenggaraan  Lalu  Lintas  dan Angkutan  Jalan  yang  sesuai  dengan  perkembangan  ilmu pengetahuan  dan  teknologi,  otonomi  daerah,  serta akuntabilitas penyelenggaraan negara;
 d.   bahwa  Undang-Undang  Nomor  14  Tahun  1992  tentang Lalu  Lintas  dan  Angkutan  Jalan  sudah  tidak  sesuai  lagi dengan  kondisi,  perubahan  lingkungan  strategis,  dan  kebutuhan  penyelenggaraan  Lalu  Lintas  dan  Angkutan Jalan  saat  ini  sehingga  perlu  diganti  dengan  undangundang yang baru;
 e.    bahwa berdasarkan  pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam  huruf  a,  huruf  b,  huruf  c,  dan  huruf  d  perlu membentuk  Undang-Undang  tentang  Lalu  Lintas  dan Angkutan Jalan;

Mengingat  :  Pasal  5  ayat  (1)  serta  Pasal  20  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  UndangUndang     Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan  :  UNDANG-UNDANG  TENTANG  LALU  LINTAS  DAN  ANGKUTAN
    JALAN

Bagian Kedua
Ruang Lalu Lintas
Paragraf 1
Kelas Jalan
Pasal 19

(1)  Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
a.  fungsi  dan  intensitas  Lalu  Lintas  guna  kepentingan  pengaturan  penggunaan  Jalan  dan  Kelancaran  Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
b. daya  dukung  untuk  menerima  muatan  sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
(2)  Pengelompokan  Jalan  menurut  kelas  Jalan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.  jalan  kelas  I,  yaitu  jalan  arteri  dan  kolektor  yang dapat  dilalui  Kendaraan  Bermotor  dengan  ukuran lebar  tidak  melebihi  2.500  (dua  ribu  lima  ratus) milimeter,  ukuran  panjang  tidak  melebihi  18.000 (delapan  belas  ribu)  milimeter,  ukuran  paling  tinggi 4.200  (empat  ribu  dua  ratus)  milimeter,  dan  muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
b.  jalan  kelas  II,  yaitu  jalan  arteri,  kolektor,  lokal,  dan lingkungan  yang  dapat  dilalui  Kendaraan  Bermotor dengan  ukuran  lebar  tidak  melebihi  2.500  (dua  ribu lima  ratus)  milimeter,  ukuran  panjang  tidak  melebihi 12.000  (dua  belas  ribu)  milimeter,  ukuran  paling tinggi  4.200  (empat  ribu  dua  ratus)  milimeter,  dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c.  jalan  kelas  III,  yaitu  jalan  arteri,  kolektor,  lokal,  dan lingkungan  yang  dapat  dilalui  Kendaraan  Bermotor dengan  ukuran  lebar  tidak  melebihi  2.100  (dua  ribu seratus)  milimeter,  ukuran  panjang  tidak  melebihi 9.000 (sembilan  ribu)  milimeter,  ukuran  paling  tinggi 3.500  (tiga  ribu  lima  ratus)  milimeter,  dan  muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
d. jalan  kelas  khusus,  yaitu   jalan  arteri  yang  dapat dilalui  Kendaraan  Bermotor  dengan  ukuran  lebar melebihi  2.500  (dua  ribu  lima  ratus)  milimeter, ukuran  panjang  melebihi  18.000  (delapan  belas  ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus)  milimeter,  dan  muatan  sumbu  terberat  lebih dari 10 (sepuluh) ton.
(3)  Dalam  keadaan  tertentu  daya  dukung  jalan  kelas  III sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  huruf  c  dapat ditetapkan  muatan  sumbu  terberat  kurang  dari  8 (delapan) ton.
(4)  Kelas  jalan  berdasarkan  spesifikasi  penyediaan  prasarana  jalan  diatur  sesuai  dengan  ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.
(5)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  jalan  kelas  khusus sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  huruf  d  diatur dengan peraturan pemerintah. 

Pasal 20
(1)  Penetapan  kelas  jalan  pada  setiap  ruas  jalan  dilakukan oleh:
a.  Pemerintah, untuk jalan nasional;
b.  pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;
c.  pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau
d.  pemerintah kota, untuk jalan kota.
(2)  Kelas  jalan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(3) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pengelompokan  kelas jalan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19  dan  tata cara  penetapan  kelas  jalan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 2
Penggunaan dan Perlengkapan Jalan
Pasal 21
(1)  Setiap  Jalan  memiliki  batas  kecepatan paling  tinggi  yang ditetapkan secara nasional.
(2)  Batas  kecepatan  paling  tinggi  sebagaimana  dimaksud pada  ayat  (1) ditentukan  berdasarkan  kawasan permukiman,  kawasan  perkotaan,  jalan  antarkota,  dan jalan bebas hambatan.
(3)  Atas  pertimbangan  keselamatan  atau  pertimbangan khusus  lainnya,  Pemerintah  Daerah  dapat  menetapkan batas  kecepatan  paling  tinggi  setempat  yang  harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(4)  Batas  kecepatan  paling  rendah  pada  jalan  bebas hambatan  ditetapkan  dengan  batas  absolut  60  (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.
(5)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  batas  kecepatan sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  diatur dengan peraturan pemerintah. 

Pasal 22
(1)  Jalan  yang  dioperasikan  harus  memenuhi  persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.
(2)  Penyelenggara  Jalan  wajib  melaksanakan  uji  kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan.
(3)  Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan  pada  Jalan  yang  sudah  beroperasi  secara  berkala dalam  jangka  waktu  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.
(4)  Uji  kelaikan  fungsi  Jalan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (2)  dan  ayat  (3)  dilakukan  oleh  tim  uji  laik  fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.
(5)  Tim  uji  laik  fungsi  Jalan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (4)  terdiri  atas  unsur  penyelenggara  Jalan,  instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 (6) Hasil  uji  kelaikan  fungsi  Jalan  wajib  dipublikasikan  dan ditindaklanjuti  oleh  penyelenggara  Jalan,  instansi  yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas  dan  Angkutan  Jalan,  dan/atau  Kepolisian  Negara Republik Indonesia.
(7)  Uji  kelaikan  fungsi  Jalan  dilaksanakan  sesuai  dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 23
(1)  Penyelenggara  Jalan  dalam  melaksanakan  preservasi Jalan  dan/atau  peningkatan   kapasitas  Jalan   wajib menjaga  Keamanan,  Keselamatan,  Ketertiban,  dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2)  Penyelenggara  Jalan  dalam  melaksanakan  kegiatan sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  berkoordinasi dengan  instansi  yang  bertanggung  jawab  di  bidang sarana  dan  Prasarana  Lalu  Lintas  dan  Angkutan  Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Pasal 24
(1)  Penyelenggara  Jalan  wajib  segera  dan  patut  untuk memperbaiki  Jalan  yang  rusak  yang  dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.
(2)  Dalam  hal  belum  dapat  dilakukan  perbaikan  Jalan  yang rusak  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1), penyelenggara  Jalan  wajib  memberi  tanda  atau  rambu pada  Jalan  yang  rusak  untuk  mencegah  terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas. 

Pasal 25
(1)  Setiap  Jalan  yang  digunakan  untuk  Lalu  Lintas  umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
a.  Rambu Lalu Lintas;
b.  Marka Jalan;
c.  Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d.  alat penerangan Jalan;
e.  alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
f.  alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
g.  fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan
h.  fasilitas  pendukung  kegiatan  Lalu  Lintas  dan Angkutan  Jalan  yang  berada  di  Jalan  dan  di  luar badan Jalan.
(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  perlengkapan  Jalan sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dengan peraturan pemerintah.

Pasal 26
(1)  Penyediaan  perlengkapan  Jalan  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh:
a.  Pemerintah untuk jalan nasional;
b.  pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c.  pemerintah  kabupaten/kota  untuk  jalan kabupaten/kota dan jalandesa; atau
d.  badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
(2)  Penyediaan  perlengkapan  Jalan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 27
(1)  Perlengkapan  Jalan  pada  jalan  lingkungan  tertentu disesuaikan  dengan  kapasitas,  intensitas,  dan  volume Lalu Lintas.
(2)  Ketentuan  mengenai  pemasangan  perlengkapan  Jalan pada  jalan  lingkungan  tertentu  diatur  dengan  peraturan daerah. 

Pasal 28
(1)  Setiap  orang  dilarang  melakukan  perbuatan  yang mengakibatkan   kerusakan  dan/atau  gangguan  fungsi Jalan.
(2)  Setiap  orang  dilarang  melakukan  perbuatan  yang mengakibatkan   gangguan  pada  fungsi  perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).

Analisis rekayasa sosial
Pasal 19      : Mengelompokkan  jalan dalam beberapa kelas berdasarkan fungsi dan intensitas lalu lintas serta daya dukung, rekayasa sosial ini bertujuan agar  penggunaan jalan dapat teratur sehingga tercipta kelancaran lalu lintas, daya dukung untuk menerima muatan bertujuan agar tidak merusak jalan, juga agar tercipta kenyamanan dan kelancaran dalam berlalu lintas. Dengan melebihi kapasitas muatan yang telah ditentukan pada jalan-jalan yang sempit akan mengakibatkan kerusakan pada jalan, misalnya truk dengan muatan 10 ton dan tinggi 4200 milimeter jika melaju di jalan kelas III maka dapat mengakibatkan kerusakaan pada jalan, selain itu jika jalan sempit dan kendaraan terlalu panjang serta membawa muatan berat akan  mengakibatkan  kemacetan lalu lintas. Kendaraan dari arah yang berlawanan akan terhambat lajunya selain itu kendaraan berat tersebut akan kesulitan untuk melaju.
Pasal 20      : Pembagian tugas dalam penetapan kelas jalan, rekayasa sosial ini bertujuan agar tercipta kelancaran lalu lintas. Dengan  adanya pembagiaan tugas ini maka jalan akan semakin diperhatikan sampai pada tingkat kota.
Pasal 21      : Penetapan Batas kecepatan bertujuan agar tercipta keselamatan pengguna jalan dan mengurangi angka kecelakaan lalu lintas. Batas kecepatan yang ditentukan berdasarkan kawasan pemukiman, perkotaan, jalan antar kota dan jalan bebas hambatan. yang dinyatakan dalam rambu lalu lintas akan menjadi pengingat bagi pengguna jalan agar memperhatikan keselamatan mereka.
Pasal 22      : Penetapan persyaratan kelayakan  jalan sebelum beroperasi sera uji kelayakan secara berkala oleh instansi yang bertanggung jawab dalam bidangnya bertujuan agar tercipta kenyaman dan keselamatan dalam berlalu lintas. Jika jalan tidak memenuhi persyaratan baik teknisa maupun adminstratif, maka hal ini dapat membahayakan pengguna jalan. Selain itu jalan yang juga harus diuji secara berkala, jika hal ini tidak dilakukan maka perawatan jalan tidak akan maksimal, jalan-jalan yang sudah rusak tidak akan ada perawatan. Hal ini akan menyebabkan kenyaman serta keamanan dalam berkendara terancam.
Pasal 23      : Koordinasi antar instansi dalam penyelenggaraan peningkatan kapasitas jalan. Ini bertujuan agar sinkron dalam melaksanakan tugas peningkatan kapasitas jalan sehingga tercipta ketertiban, keamanan, serta kelancaran lau lintas.
Pasal 24      : Pemberian tanda pada jalan yang rusak serta perbaikan jalan dengan segera. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Karena dengan perbaikan yang sesegera mungkin serta pemberian tanda akan membuat pengguna jalan menjadi terjamin keselamatannya.
Pasal 25      : Mewajibkan untuk menggunakan perlengkapan jalan. Rekayasa social ini bertujuan agar tecipta keamana, ketertiban, dan keselamatan pengguna jalan. Dengan adanya rambu lalu lintas maka kelancaran akan tercipta, alat penerang jalan juga sangat membantu pengguna jalan, dengan adanya penerangan jalan maka diharapkan angka kecelakaan akan berkurang.
Pasal 26      : Pembagian tugas dalam penyediaan perlengkapan jalan. Ini bertujuan agar jalan-jalan menjadi terfokus untuk diperhatiakan sampai kepelosok desa. Bila tugas ini hannya dilakukan oleh pemerintah pusat maka tidak akan maksimal karena ada banyak sekali jalan yang harus diperhatikan di Indonesia.
Pasal 27      : Penyesuaian perlengkapan jalan pada jalan lingkungan tertentu. Selain untuk kelancaran dalam berlalu lintas, ini juga untuk efisiensi dalam penggunaan perlengkapan jalan. Karena volume lalu lintas yang besar dan kecil akan sangat berbeda kebutuhan akan perlengkapan jalannya.
Pasal 28      : Larangan untuk merusak jalan. Rekaya ini bertujuan agar jalan-jalan dapat berfungsi dengan baik, dengan ini maka akan tercipta keamanan, serta kelancaran dalam berlalu lintas.

KESIMPULAN 

 UU  Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan merekayasa masyarakat khususnya pengguna jalan agar berhati-hati dan berkonsentrasi penuh dalam berkendara agar terciptanya ketertiban, keamanaan, kelancaran, dan keselamatan dalam berlalu lintas.



[1] Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tersa, 2012), h. 47
[2] Ibid.

1 komentar: